Rabu, Mac 18, 2009

Abu Darda’

Uwaimir bin Malik Al Khazraji yang digelari Abu Darda' bangun dari tidurnya pagi pagi sekali. Setelah itu dia pergi menuju berhala sembahannya di sebuah kamar yang paling istimewa dalam rumahnya. Dia membungkuk memberi hormat kepada patung tersebut, kemudian diminyakinya dengan wangi-wangian termahal yang terdapat dalam tokonya yang besar. Sesudah itu patung tersebut diberi pakaian baru yang terbuat dari sutera megah, yang diperolehnya kemarin dari seorang pedagang yang datang dari Yaman dan sengaja mengunjunginya.

Setelah matahari agak tinggi, barulah Abu darda' masuk ke rumah dan bersiap hendak pergi ke tokonya, tiba-tiba jalan di Yastsrib menjadi ramai, penuh sesak dengan para pengikut Nabi Muhammad yang baru kembali dari peperangan Badar. Di muka sekali terlihat sekumpulan tawanan terdiri dari orang-orang Quraisy. Abu Darda' mendekati orang ramai dan bertemu dengan seorang pemuda suku Khazraj. Abu darda' menanyakan kepadanya dimana 'Abdullah bin Rawahah.

Pemuda Khazraj tersebut menjawab dengan hati- hati pertanyaan Abu Darda', karena dia tahu bagaimana hubungan Abu Darda' dengan 'Abdullah bin Rawahah. Mereka tadinya adalah dua orang teman akrab di masa jahily. Setelah Islam datang, “Abdullah bin Rawahah segera masuk Islam, sedangkan Abu Darda' tetap dalam kemusyrikan.

Tetapi hal itu tidak menyebabkan hubungan persahabatan kedua orang tersebut menjadi putus. Karena 'Abdullah berjanji akan mengunjungi Abu Darda' sewaktu-waktu, untuk mengajak dan menariknya ke dalam Islam. Dia kasihan kepada Abu Darda', karena umurnya habis tersia-sia setiap hari dalam kemusyrikan.

Abu Darda' tiba di toko pada waktunya. Ia duduk bersila diatas kursi, sibuk jual beli dan mengomandoi para pelayan. Sementara itu ' Abdullah bin Rawahah datang ke rumah Abu Darda'. Sampai di sana ia melihat Ummu Darda' di halaman rumahnya. “ Assalamu'alaiki. Ya amatallah, “ ( Semoga Anda bahagia, hai hamba Allah ). “ kata 'Abdullah memberi salam. “

Wa 'alaikassalam, ya akha Abi Darda' “ ( Dan semoga Anda bahagia pula, hai sahabat Abu Darda'), jawab Ummu Darda.

“Kemana Abu Darda'', tanya 'Abdullah.
“Dia ke toko, tetapi tidak lama lagi dia akan pulang,” jawab Ummu Darda'

“Boleh saya masuk?” tanya 'Abdullah.

'Dengan segala senang hati! Silakan! Jawab Ummu Darda'. Ummu Darda' melapangkan jalan bagi 'Abdullah, kemudian dia masuk ke dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak.

'Abdullah bin Rawahah masuk ke kamar tempat Abu Darda' meletakkan patung sembahannya. Dikeluarkannya kapak yang sengaja dibawanya. Dihampirinya patung itu lalu dikapaknya hingga berkeping-keping. Katanya, “ ketahuilah, setiap yang disembah selain Allah adalah batil!”

Setelah selesai menghancurkan patung tersebut, dia pergi meninggalkan rumah. Ummu Darda' masuk ke kamar tempat patung berada. Alangkah terperanjatnya dia, ketika dilihatnya patung telah hancur berkeping keping dan berserakan di lantai.

Ummu Darda' meratap menampar nampar kedua pipinya seraya berkata, “Engkau celakakan saya, hai Ibnu Rawahah.”

Tidak berapa lama kemudian Abu Darda' pulang dari toko. Didapatinya istrinya duduk dekat pintu kamar patung sambil menangis. Rasa cemas dan takut kelihatan jelas di wajahnya.

“Mengapa engkau menangis? ' tanya Abu Darda'
“Teman Anda, ' Abdullah bin Rawahah tadi datang kemari ketika Anda sedang di toko. Dia telah menghancurkan patung sembahan Anda. Cobalah Anda saksikan sendiri,”jawab Ummu Darda'
Abu Darda' menengok ke kamar patung, dilihatnya patung itu sudah hancur berkeping-keping. Maka timbullah marahnya. Mulanya dia bermaksud hendak mencari 'Abdullah. Tetapi setelah kemarahannya berangsur padam, dia memikirkan kembali apa yang sudah terjadi. Kemudian katanya,”seandainya patung itu benar Tuhan, tentu dia sanggup membela dirinya sendiri.”

Maka ditinggalkannya patung yang menyesatkan itu, lalu dia pergi mencari 'Abdullah bin Rawahah. Bersama sama dengan 'Abdullah, dia pergi menghadap Rasulullah SAW dan menyatakan masuk agama Allah di hadapan beliau.

Sejak detik pertama Abu Darda' beriman dengan Allah dan Rasul-Nya, dia beriman dengan sebenar benar iman. Dia sangat menyesal agak terlambat masuk Islam. Sementara itu kawan-kawannya yang telah lebih dahulu masuk Islam, telah memperoleh pengertian yang dalam tentang agama Allah ini, hafal Al Qur'an, senantiasa beribadat, dan taqwa yang selalu mereka tanamkan dalam diri mereka di sisi Allah. Karena itu dia bertekad hendak mengejar ketinggalannya dengan sungguh-sungguh, sekali pun dia harus berpayah-payah siang dan malam, hingga tersusul orang-orang yang berangkat lebih dahulu. Dia berpaling kepada ibadat dan memutuskan hubungan dengan dunia, mencurahkan perhatian kepada ilmu seperti orang kehausan mempelajari Al Qur'an dengan tekun dan menghafalkan ayat-ayat, serta menggali pengertiannya sampai dalam. Tatkala dirasakannya perdagangannya mengganggu dan merintanginya untuk beribadat dan menghadiri majelis-majelis ilmu, maka ditinggalkannya perusahaannya tanpa ragu dan penyesalan.

Berkenan dengan sikapnya yang tegas itu orang pernah bertanya kepadanya. Maka dijawabnya, “Sebelum masa Rasulullah saya menjadi seorang pedagang. Maka setelah saya masuk Islam, saya ingin menggabungkan berdagang untuk beribadat. Demi Allah, yang jiwa Abu Darda' dalam kuasa-Nya, saya akan menggaji penjaga pintu masjid supaya saya tidak luput shalat berjamaah, kemudian saya berjual beli dan berlaba setiap hari 300 dinar.”

Kemudian dia menengok kepada si penanya dan berkata, “Saya tidak mengatakan bahwa Allah Ta'ala mengharamkan berniaga. Tetapi saya ingin menjadi pedagang, bila perdagangan dan jual beli tidak mengganggu saya untuk berdzikrullah ( berdzikir).”

Abu Darda' tidak meninggalkan perdagangan sama sekali. Dia hanya sekedar meninggalkan dunia dengan segala perhiasan dan kemegahannya. Baginya sudah cukup sesuap nasi sekedar untuk menguatkan badan, dan sehelai pakaian kasar untuk menutupi tubuh.

Pada suatu malam yang sangat dingin, sekelompok jamaah bermalam di rumahnya. Abu Darda', menyuguhi mereka makanan hangat, tetapi tidak memberinya selimut. Ketika hendak tidur, mereka mempertanyakan selimut, Seorang diantaranya berkata, “Biarlah saya tanyakan kepada Abu Darda'.”

Kata yang lain tidak, 'Tidak perlu!”


Tetapi orang yang seorang itu menolak saran orang yang tidak menuju. Dia terus pergi ke kamar Abu Darda'. Sampai di muka pintu dilihatnya Abu Darda' berbaring, dan istrinya duduk di sampingnya. Mereka berdua hanya memakai pakaian tipis yang tidak mungkin melindungi mereka dari kedinginan. Orang itu bertanya kepada Abu Darda', Saya lihat Anda sama dengan kami, tengah malam sedingin ini tanpa selimut. Kemana saja kekayaan dan harta benda Anda?”

Jawab Abu Darda', “kami mempunyai rumah di kampung sana. Harta benda kami langsung kami kirimkan kesana setiap kami peroleh. Seandainya masih ada yang tinggal di sini (berupa selimut), tentu sudah kami berikan kepada tuan-tuan. Di samping itu, jalan ke rumah kami yang baru itu sulit dan mendaki. Karena itu susah membawa barang yang berat-berat. Kami memang sengaja meringankan beban kami supaya mudah dibawa.”

Kemudian Abu Darda bertanya kepada orang itu, “Pahamkah Anda?”

Jawab orang itu, “Ya, saya mengerti. Semoga Anda di karuniai Allah segala kebaikan.”

Pada masa pemerintahan Khalifah 'Umar bin Khatab, 'Umar mengangkat Abu darda' menjadi pejabat tinggi di Syam. Tetapi Abu Darda' menolak pengangkatan tersebut. Khalifah Umar marah kepadanya. Lalu kata Abu Darda'. “Bilamana Anda menghendaki saya pergi ke Syam, saya mau pergi untuk mengajarkan Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah kepada mereka, serta menegakkan shalat bersama sama dengan mereka.”

Khalifah Umar menyukai rencana Abu Darda' tersebut. Lalu Abu Darda' berangkat ke Damsyik. Sampai di sana didapatinya masyarakat telah mabuk kemewahan dan tenggelam dalam kenikmatan dunia. Hal itu sangat menyedihkannya. Maka dipanggilnya orang banyak ke masjid, lalu dia berpidato di hadapan mereka.

0 ulasan: