Jumaat, Mac 27, 2009

SESALAN SANG ALGOJO……

Renungilah cerita yang amat menyayat hati ini. Semoga kita sama-sama
mendapat pengajaran darinya untuk terus memperjuangkan ISLAM agar kembali
DIJULANG.

Suatu petang, ditahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang di situ
terasa hening mencengkam. Jeneral Adolf Roberto, pemimpin penjara yang
terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan. Setiap banduan
penjara membongkokkan badannya rendah-rendah ketika 'algojo penjara'
itu melintasi di hadapan mereka. Kerana kalau tidak, sepatu 'boot keras'
milik tuan Roberto yang fanatik Kristian itu akan mendarat di wajah
mereka. Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar
seseorang mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci."Hai...hentikan
suara jelekmu! Hentikan...!" Teriak Roberto sekeras-kerasnya sambil
membelalakkan
mata. Namun apa yang terjadi? Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap saja
bersenandung dengan khusyu'nya. Roberto bertambah berang. Algojo penjara
itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk
satu orang. Dengan marah ia menyemburkan ludahnya ke wajah tua sang tahanan
yang keriput hanya tinggal tulang.Tak puas sampai di situ, ia lalu menyucuh
wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala.
Sungguh ajaib... Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan. Bibir yang
pucat kering milik sang tahanan amat galak untuk meneriakkan kata Rabbi,
wa ana 'abduka... Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak
bertakbir sambil berkata, "Bersabarlah wahai ustaz...InsyaALLAH tempatmu
di Syurga." Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustaz oleh sesama
tahanan, 'algojo penjara' itu bertambah memuncak marahnya. Ia memerintahkan
pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu
keras-kerasnya sehingga terjerembab di lantai. "Hai orang tua busuk!
Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa hinamu itu?! Aku tidak suka
apa-apa yang berhubung dengan agamamu!Ketahuilah orang tua dungu, bumi
Sepanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan bapa kami, Tuhan Jesus.
Anda telah membuat aku benci dan geram dengan 'suara-suara' yang seharusnya
tidak didengari lagi di sini. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh.
Kecuali, kalau engkau mahu minta maaf dan masuk agama kami." Mendengar
"khutbah" itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan
tatapan yang tajam dan dingin. Ia lalu berucap, "Sungguh...aku sangat
merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat
kucintai, ALLAH. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan
segera menemuiNya, patut-kah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk?
Jika aku turuti kemahuanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh."
Sejurus sahaja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat
di wajahnya. Laki-laki itu terhuyung.Kemudian jatuh terkapar di lantai
penjara dengan wajah berlumuran darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya
yang telah lusuh, meluncur sebuah 'buku kecil'. Adolf Roberto berusaha
memungutnya. Namun tangan sang Ustaz telah terlebih dahulu mengambil
dan menggenggamnya erat-erat. "Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!"
bentak Roberto. "Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk
menyentuh barang suci ini!"ucap sang ustaz dengan tatapan menghina pada
Roberto. Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa
untuk mendapatkan buku itu. Sepatu lars seberat dua kilogram itu ia
gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustaz yang telah lemah.
Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun
tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga
mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan 'algojo penjara' itu
merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari
musuhnya yang telah hancur. Setelah tangan tua itu tak berdaya, Roberto
memungut buku kecil yang membuatnya baran. Perlahan Roberto membuka
sampul buku yang telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung. "Ah...seperti
aku pernah mengenal buku in. Tetapi bila? Ya, aku pernah mengenal buku
ini." suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran
pertama itu. Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala
melihat tulisan-tulisan "aneh" dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal
tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di
bumi Sepanyol. Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustaz yang sedang
melepaskan nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi
tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras
mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak. Perlahan,
sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda
itu teringat ketika suatu petang di masa kanak-kanaknya terjadi kekecohan
besar di negeri tempat kelahirannya ini. Petang itu ia melihat peristiwa
yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum
muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah
dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa gugur di bumi Andalusia. Di hujung
kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab digantung pada
tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka pergelantungan
tertiup angin petang yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan
berkibar- kibar di udara. Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda
Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak
mahu memasuki agama yang dibawa oleh para rahib. Seorang kanak- kanak
laki-laki comel dan tampan, berumur sekitar tujuh tahun, malam itu masih
berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban
kebiadaban itu telah syahid semua. Kanak-kanak comel itu melimpahkan
airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan.
Perlahan-lahan kanak-kanak itu mendekati tubuh sang ummi yang tak sudah
bernyawa, sambil menggayuti abinya. Sang anak itu berkata dengan suara
parau, "Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi
telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta,tsa....?
Ummi,cepat pulang ke rumah ummi..." Budak kecil itu akhirnya menangis
keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung
dan takut, tak tahu apa yang harus dibuat. Untuk pulang ke rumah pun
ia tak tahu arah. Akhirnya budak itu berteriak memanggil bapaknya,
"Abi...Abi...Abi..."
Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapa ketika teringat
petang kelmarin bapanya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.
"Hai...siapa kamu?!" jerit segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati
budak tersebut. "Saya Ahmad Izzah,sedang menunggu Ummi..." jawabnya memohon
belas kasih. "Hah...siapa namamu budak, cuba ulangi!" bentak salah seorang
dari mereka. "Saya Ahmad Izzah..." dia kembali menjawab dengan agak kasar.
Tiba-tiba "plak! sebuah tamparan mendarat di pipi si kecil. "Hai budak...!
Wajahmu cantik tapi namamu hodoh. Aku benci namamu. Sekarang kutukar
namamu dengan nama yang lebih baik. Namamu sekarang 'Adolf Roberto'...Awas!
Jangan kau sebut lagi namamu yang buruk itu. Kalau kau sebut lagi nama
lamamu itu, nanti akan kubunuh!" ancam laki-laki itu. Budak itu mengigil
ketakutan, sembari tetap menitiskan air mata. Dia hanya menurut ketika
gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya budak tampan
itu hidup bersama mereka. Roberto sedar dari renungannya yang panjang.
Pemuda itumelompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju
penjara yang melekat pada tubuh sang ustaz. Ia mencari-cari sesuatu
di pusat laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah 'tanda hitam' ia berteriak
histeria, "Abi...Abi...Abi..." Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti
Ahmad Izzah dulu. Fikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih
ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di
dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapanya, yang dulu sering
dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia jua ingat betul
ayahnya mempunyai 'tanda hitam' pada bahagian pusat. Pemuda bengis itu
terus meraung dan memeluk erat tubuh tua nan lemah. Tampak sekali ada
penyesalan yang amat dalam atas tingkah-lakunya selama ini. Lidahnya
yang sudah berpuluh-puluh tahun lupa akan Islam, saat itu dengan spontan
menyebut, "Abi... aku masih ingat alif, ba, ta, tha..." Hanya sebatas
kata itu yang masih terakam dalam benaknya. Sang ustaz segera membuka
mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan
tatapan samar dia masih dapatmelihat seseorang yang tadi menyeksanya
habis-habisan kini sedang memeluknya. "Tunjuki aku pada jalan yang telah
engkau tempuhi Abi, tunjukkan aku pada jalan itu..." Terdengar suara
Roberto meminta belas. Sang ustaz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata,
lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak,
jika setelah puluhan tahun, ternyata ia masih Sang Abi dengan susah
payah masih boleh berucap. "Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana
banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah
Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu," Setelah
selesai berpesan sang ustaz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal
kalimah indah "Asyahadu anla Illaaha ilALlah, wa asyahadu anna
MuhammadRasullullah...'.
Beliau pergi dengan menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian
lama berjuang dibumi yang fana ini. Kini Ahmah Izzah telah menjadi seorang
alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya, "Islam, sebagai
ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda
Islam dari berbagai penjuru berguru dengannya..." Al-Ustadz Ahmad Izzah
Al-Andalusy. Benarlah firman Allah... "Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama ALLAH, tetaplah atas fitrah ALLAH yang telah menciptakan
manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah ALlah.
Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."
(QS30:30) Syeikh Al-Islam Turki yang terakhir iaitu As-Syeikh Mustafa
Al Basri telah menegaskan dalam bukunya ... ".......sekularisma yang
memisahkan ajaran agama dengan kehidupan dunia merupakan jalan paling
mudah untuk menjadi murtad."

0 ulasan: